Sabtu, 28 April 2012

samapi kapan kita ngamen untuk kerlangsungan telaga dan para pemanfaatnya.

Kamis, 05 April 2012

SUNGAI SEBAGAI MEDIA PELAMPIASAN



Pada zaman yang kurang ramah ini sungai hanya dianggap sebagai media pelampiasan daripada berbagai persoalan yang dihadapi manusia. Salah satunya yaitu pelampiasan untuk membuang limbah maupun sampah.

Sesungguhnya mereka sadar akan dampak daripada tindakan mereka membuang limbah atau sampah di sungai adalah perbuatan yang tidak mulia karena dapat mengakibatkan sungai tersebut menjadi kotor dan berbau. Dampak seperti ini sesungguhnya sudah ada pada benak masing-masing manusia. Tetapi karena mereka sudah cukup pusing dan malas untuk mengolah limbah maupun sampah yang mereka buang secara bijaksana, maka mereka dengan tanpa berpikir panjang melampiaskan pembuangan tersebut pada sungai di sekitar tempat mereka hidup.

Pelampiasan yang berikut ini sedikit lebih ramah lingkungan, yaitu melampiaskan kegalauan dengan melakukan berbagai aktifitas di sungai, diantaranya ialah memancing, menjala, menjaring, nyusuk, berenang, merenung dan lain-lain.

Kalau kita mengingat zaman keramahan waktu itu, sungai bukan dipandang sebagai tempat pelampiasan, tetapi lebih dari itu, sungai mereka gunakan sebagai sumber penghidupan. Mulai dari pemanfaatan air-nya sampai segala bentuk makhluk hidup yang ada di dalamnya. Ini adalah nilai inti daripada sungai. Kehidupan masyarakat bergantung sepenuhnya kepada sumberdaya sungai. Ketika mereka berfikiran seperti ini, maka mereka secara otomatis akan menjaga dengan sepenuh hati atas kebersihan beserta keberlangsungan kehidupan sungai.

Hormatilah sungai. Mayoritas petani memanfaatkan air sungai untuk mengairi sawah mereka. Limbah yang anda buang di sungai diserap oleh tanaman. Bayangkan jika limbah itu berbahaya, pasti akan berdampak buruk bagi tanaman. Secara otomatis ini akan mengkontaminasi tanaman tersebut dan ditampung di dalam buah yang pada akhirnya kita konsumsi juga.

"Jika anda berbuat baik terhadap sungai, berarti anda secara otomatis juga berbuat baik terhadap diri anda sendiri. Begitu juga sebaliknya".


Senin, 19 Maret 2012

Lama sudah telaga ini menjadi santapan para pemerhati lingkungan. Kehidupan Telaga yang harmonis menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka.

Kamis, 09 Februari 2012

coretan di atas telaga
Oleh : Suko Wiyono
Susuh, 20 Januari 2012

Telaga buret merupakan asset kehidupan bagi para petani di 4 desa, diantaranya yaitu Desa Sawo, Gedangan, Ngentrong dan Gamping. Ke empat desa ini berada di Kecatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung di Jawa Timur. Selain menggantungkan air  hujan, pada waktu musim tanam padi, sawah mereka juga harus tetap mendapatkan air irigasi yang berasal dari telaga buret tersebut.

Telaga buret dipercayai sebagai tempat yang penuh dengan hal-hal yang mistis, dan banyak mitos yang dipercaya oleh masyarakat sekitar terkait dengan apa yang ada di telaga buret tersebut.Berawal dari sini, masyarakat sejak zaman dulu selalu melaksanakan upacara adat sekali di setiap tahunnya yang disebut Ulur-ulur. Upacara ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa terimakasih mereka kepada sang pencipta yang telah memberikan sumber mata air yang besar sebagai penopang penghidupan bagi masyarakat setempat.

Pada awalnya, upacara adat ini hanya diselenggarakan oleh pemerintahan desa setempat. Tetapi dengan berjalannya waktu, masyarakat ingin membentuk sebuah kelompok yang serius menangani upacara adat di Telaga Buret. Kelompok ini beranggotakan sesepuh/tokoh masyarakat adat yang dulunya aktif ikut serta dalam setiap pelaksanaan upacara adat telaga, dan kelompok ini diberi nama Kasepuhan Sendang Tirto Mulyo. Kasepuhan Sendang Tirto Mulyo berdiri sekitar tahun 1995 dengan setatus yang disandang adalah paguyuban.
 Kasepuhan ini berhasil membuat upacara ulur-ulur dikenal tidak hanya oleh masyarakat setempat saja, tetapi juga oleh pemerintah daerah setempat dan juga masyarakat di luar daerah, mungkin sampai ke tingkat nasional bahkan internasional.Karena upacara ini setiap kali diselenggarakan acap kali diliput oleh beberapa media elektronik dan cetak setingkat nasional. Entah itu koran, majalah, radio atau juga televisi swasta.

Lambat laun, banyak yang tertarik dengan apa yang ada pada Telaga Buret. Mereka bukan hanya tertarik terhadap upacara ulur-ulur ini, melainkan juga tertarik  dengan keanekaragaman flora dan fauna yang ada di sekitarnya. Mulai dari beberapa jenis binatang air, darat dan udara banyak terdapat disitu.
Telaga ini terjaga keberadaannya karena banyak mitos. Salah satu mitos yang masih dipercaya masyarakat adalah jika ada orang yang berani mengambil binatang jenis apapun dari area sekitar telaga ini maka akan celaka nantinya. Mitos ini ternyata juga banyak yang dialami oleh warga sekitar yang mencoba untuk melanggarnya. Ada beberapa warga sekitar yang pernah mengambil ikan dari telaga dan seketika itu langsung mengalami sakit parah.

Ada yang merasa bahwa mereka harus bertanggungjawab terhadap kelestarian ekosistem yang ada di telaga ini, baik itu dari kalangan pemerintah maupun masyarakat sekitar. Sehingga mendorong  munculnya lembaga baru yang namanya Hampar. Hampar adalah organisasi pemuda di sekitar telaga yang peduli terhadap telaga. Mereka aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk kelestarian telaga, misalnya yaitu melakukan penanaman di lokasi sekitar telaga dan juga melakukan kegiatan-kegiatan dalam bentuk yang lainnya.
Dan dari situ pula, muncullah sebuah keinginan dari beberapa kelompok dan didukung oleh pemerintah daerah setempat untuk menjadikan Telaga Buret ini sebagai kawasan eko-wisata. Jadi, selain untuk menjaga kelestarian flora, fauna dan sumber mata airnya adalah juga sebagai tempat wisata.

Setelah munculnya program PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat), yang digelontorkan oleh pemerintah, maka masyarakat setempat, khususnya masyarakat di Desa Sawo, membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sesuai dengan amanah yang termaktup dalam Undang-undang PHBM. Organisasi ini diketuai oleh pengusaha penggergajian batu marmer dan dibantu oleh beberapa pengurus yang berasal dari kalangan pemerintah desa dan juga pemuda. Yang jelas dari beberapa pengurus inti ini adalah bukan  petani yang menggarap lahan di hutan. Mungkin ini yang melatar-belakangi ketidakaktifan dari lembaga ini, sehingga lembaga ini sudah seperti mati suri.

Di area sekitar telaga ada bukit yang sebenarnya masuk dalam kawasan hutan lindung. Tapi tdak tahu kenapa, oleh Perum Perhutani ditanami tanaman produksi layaknya hutan produksi dan masyarakat sekitar memanfaatkan lahan tersebut untuk bercocok tanam.
Timbul  inisiatif untuk mengelola lahan tersebut menjadi lahan yang mempunyai dampak positif terhadap kelestarian sumber mata air telaga. Maka dibentuklah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Puthuk Mindhi sebagai pokja dari LMDH Desa Sawo.
Nama Puthuk Mindhi diambil dari nama bukit yang dikelola. Kelompok ini beranggotakan murni dari pesanggem yang menggarap lahan tersebut. Dari awal kelompok ini berdiri sudah menunjukkan keseriusan dari anggotanya untuk berjuang demi kehidupan organisasi dan kelestarian alam. Tetapi pada akhirnya, karena semakin lama terkikis oleh waktu dan keadaan, maka keberlangsungan organisasi ini masih jauh dari apa yang dulunya kita harapkan.

Semoga tulisan saya ini menjadi titik balik dari semua bentuk ketidakpastian dan keterpurukan, sehingga semua sadar dan kembali ke jalan perjuangan yang benar.

Kamis, 26 Januari 2012

aku belajar dan aku berkarya. sumber air mati=kita mati

Menulis Telaga

Telaga adalah bentangan alami yang berupa genangan air. Beberapa penyair mendapatkan inspirasi dari ketenangan air telaga. Keindahannya telah melahirkan banyak karya sastra dan lagu-lagu indah puja-puji terhadap Gusti Sang Pencipta dan berbagai kompleksnya kehidupan mahluknya.

Menulis telaga adalah upaya kami manusia untuk lebih mencintai alam, berserah diri kepada Yang Kuasa, dan menjadi lebih baik untuk sesama. Mari jaga telaga.